Kamis, 22 Mei 2008

Berani Gagal


Untuk dapat menikmati hidup, hal terpenting yang perlu Anda lakukan adalah menjadi SADAR. Inti kepemimpinan adalah kesadaran. Inti spiritualitas juga adalah kesadaran. Banyak orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan ”tertidur.” Mereka lahir, tumbuh, menikah, mencari nafkah, membesarkan anak, dan akhirnya meninggal dalam keadaan ”tertidur.”

Analoginya adalah seperti orang yang terkena hipnotis. Anda tahu di mana menyimpan uang. Anda pun tahu persis nomor pin Anda. Dan Andapun menyerahkan uang Anda pada orang tidak dikenal. Anda tahu, tapi tidak sadar. Karena itu, Anda bergerak bagaikan robot-robot yang dikendalikan orang lain, lingkungan, jabatan, uang, dan harta benda.

Pengertian menyadari amat berbeda dengan mengetahui. Anda tahu berolah raga penting untuk kesehatan, tapi Anda tidak juga melakukannya. Anda tahu memperjualbelikan jabatan itu salah, tapi Anda menikmatinya. Anda tahu berselingkuh dapat menghancurkan keluarga, tapi Anda tidak dapat menahan godaan. Itulah contoh tahu tapi tidak sadar!

Ada dua hal yang dapat membuat orang menjadi sadar. Pertama, peristiwa-peristiwa pahit dan musibah. Musibah sebenarnya adalah ”rahmat terselubung’ ‘ karena dapat membuat kita bangun dan sadar. Anda baru sadar pentingnya kesehatan kalau Anda sakit. Anda baru sadar pentingnya olahraga kalau kadar kolesterol Anda mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.

Anda baru sadar nikmatnya bekerja kalau Anda di-PHK. Seorang wanita karier baru menyadari bahwa keluarga jauh lebih penting setelah anaknya terkena narkoba. Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa ia baru menyadari bahayanya judi setelah hartanya habis.

Kematian mungkin merupakan satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Banyak tokoh terkenal meninggal begitu saja. Mereka sedang sibuk memperjualbelikan kekuasaan, saling menjegal, berjuang meraih jabatan, lalu tiba-tiba saja meninggal. Bayangkan kalau Anda sedang menonton film di bioskop. Pertunjukan sedang berlangsung seru ketika tiba-tiba listrik padam. Petugas bioskop berkata,

”Silakan Anda pulang, pertunjukan sudah selesai!”

Anda protes, bahkan ingin menunggu sampai listrik hidup kembali. Tapi, si penjaga hanya berkata tegas,

”Pertunjukan sudah selesai, listriknya tidak akan pernah hidup kembali.”

Itulah analogi sederhana dari kematian. Kematian orang yang kita kenal, apalagi kerabat dekat kita sering menyadarkan kita pada arti hidup ini. Kematian menyadarkan kita pada betapa singkatnya hidup ini, betapa seringnya kita meributkan hal-hal sepele, dan betapa bodohnya kita menimbun kekayaan yang tidak sempat kita nikmati.

Hidup ini seringkali menipu dan meninabobokan orang. Untuk menjadi bangun kita harus sadar mengenai tiga hal, yaitu siapa diri kita, darimana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. Untuk itu kita perlu sering mengambil jarak dari kesibukan kita dan melakukan kontemplasi.

Ada sebuah ungkapan menarik dari seorang filsuf Perancis, Teilhard de Chardin,

”Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.”

Manusia bukanlah ”makhluk bumi” melainkan ”makhluk langit.” Kita adalah makhluk spiritual yang kebetulan sedang menempati rumah kita di bumi. Tubuh kita sebenarnya hanyalah rumah sementara bagi jiwa kita. Tubuh diperlukan karena merupakan salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tetapi, tubuh ini lama kelamaan akan rusak dan akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Pada saat itulah jiwa kita akan meninggalkan ”rumah” untuk mencari ”rumah” yang lebih layak. Keadaan ini kita sebut meninggal dunia. Jangan lupa, ini bukan berarti mati karena jiwa kita tak pernah mati. Yang mati adalah rumah kita atau tubuh kita sendiri.

Coba Anda resapi paragraf diatas dalam-dalam. Badan kita akan mati, tapi jiwa kita tetap hidup. Kalau Anda menyadari hal ini, Anda tidak akan menjadi manusia yang ngoyo dan serakah. Kita memang perlu hidup, perlu makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya.

Bila Anda sudah mencapai semua kebutuhan tersebut, itu sudah cukup!

Buat apa sibuk mengumpul-ngumpulkan kekayaan — apalagi dengan menyalahgunakan jabatan — kalau hasilnya tidak dapat Anda nikmati selama-lamanya. Apalagi Anda sudah merusak jiwa Anda sendiri dengan berlaku curang dan korup. Padahal, jiwa inilah milik kita yang abadi.

Lantas, apakah kita perlu mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit tersebut agar kita sadar? Jawabnya: ya! Tapi kalau Anda merasa cara tersebut terlalu mahal, ada cara kedua yang jauh lebih mudah:

Belajarlah MENDENGARKAN.

Dengarlah dan belajarlah dari pengalaman orang lain. Bukalah mata dan hati Anda untuk mengerti, mendengarkan, dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma Anda. Sayang, banyak orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat mereka sendiri, bukannya untuk mendapatkan sesuatu yang baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya. Orang yang seperti ini masih tertidur dan belum sepenuhnya bangun.


baca selengkapnya...

Selasa, 20 Mei 2008

TRI HITA KARANA


Tri Hita Karana merupakan produk nilai kearifan lokal yang telah bersemayam di kalbu nenek moyang kita semenjak awal peradaban Jawa, baik di era Mataram Hindu, Kediri, Singosari, Majapahit hingga Mataram Islam jilid ke dua di bawah Pangeran Mangkubumi di Kasultanan Ngayojakarta Hadiningrat. Di masa akhir pemerintahan Brawijaya V, ketika Majapahit mencapai era senja kalaning kedhaton, sebagian penganut Hindu Dharma bermigrasi mengungsi ke Pulau Dewata dan kemudian menjadi penduduk mayoritas di sana di samping suku Trunyan sebagai penduduk asli Bali. Begitupun konsep Tri Hita Karana kemudian terpelihara lestari di kalangan masyarakat Bali hingga dewasa ini.

Tri Hita Karana merupakan trilogi konsep hidup dimana Tuhan, manusia dan alam berdiri di masing-masing sudut sebagai unsur mutlak terselenggaranya denyut nadi alam raya. Dunia semesta dibagi menjadi tiga lapis alam. Pertama alam Parahyangan, alam malakut di mana Tuhan bersinggasana. Kedua alam Pawongan, alam manusia dimana manusia melangsungkan hidupnya pada dimensi jasmani maupun rohaninya. Alam ketiga adalah alam Pelemahan, alam semesta raya di bawah derajat manusia, seperti dunia tumbuhan, binatang, atau pendek kata merupakan lingkungan hidup.

Terselenggaranya keselarasan dan keharmonisan hidup manusia sebenarnya mutlak merupakan keselarasan dari ketiga dimensi alam tersebut. Manusia harus taat dan patuh terhadap aturan dan hukum alam yang telah digariskan kepadanya melalui ajaran agama yang telah diturunkan oleh Tuhan. Agama berasal dari bahasa Sansekerta a-gama, a berarti tidak dan gama berarti kacau. Jadi agama mempunyai makna sebagai instrumen atau metodologi untuk mengatur segala segi kehidupan manusia agar tidak terjadi kekacauan dalam kehidupan dan sebaliknya keselarasan, ketentraman dan kedamaian hidup dapat dicapai.

Dilanggarnya norma dan aturan agama yang telah digariskan Tuhan akan berakibat terjadinya degradasi moral manusia yang akan menjadikan manusia menurutkan hawa nafsu untuk memenuhi segala hasrat hidupnya tanpa memperdulikan kaidah norma hidup, sehingga akan menimbulkan berbagai masalah sosial dan lingkungan hidup. Lingkungan hidup akan dieksploitasi dengan semena-mena tanpa memperhitungkan tata kelola lingkungan sehingga terjadi kemerosotan daya dukung lingkungan terhadap manusia, dan akibatnya akan timbul bencana dimana-mana sebagai balas dendam alam terhadap manusia.

Yogyakarta sebagai salah satu kerajaan yang mewarisi konsep Tri Hita Karana kemudian mengejawantahkannya dengan pembentukan garis imajiner Merapi-Kedaton-Segara Kidul. Konsep ini sejak awal telah disadari oleh Pangeran Mangkubumi dengan menempatkan kratonnya pada dataran tinggi yang diapit oleh Sungai Code di seberang timur dan Sungai Winongo di sisi barat, sehingga praktis keberadaan kraton akan selalu terhindar dari banjir. Di sisi hulu, kelestarian Merapi sebagai penyangga dan daerah resapan air bagi masyarakat Yogya diupayakan tetap terjaga kelestariannya dengan menempatkan Mbah Maridjan, seorang abdi dalem sebagai juru kunci penjaga alam. Demikian pula di sisi hilir ditugaskanlah Mbah Tomo di Panggang sebagai juru kunci laut Kidul. Ini berarti bahwa untuk mencapai keselarasan hidup, manusia harus melaksanakan segala perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya dan mengupayakan kelestarian lingkungan hidup sebagai daya dukung terhadap kehidupannya.

Lain halnya dengan Jakarta, ibukota yang semula dirintis pertama kali oleh Fatahillah di awal abad 17 yang dilanjutkan oleh Pangeran Jayakarta. Jakarta merupakan daerah rawa yang sebagian tanahnya mempunyai ketinggian di bawah permukaan air laut. Hal inilah yang kemudian mendorong Belanda yang kemudian menjadikannya Batavia sebagai ibukota Hindia Belanda membuat sistem pintu saluran air sungai Ciliwung, kemudian berusaha menyodet aliran Ciliwung melalui pembuatan banjir kanal barat. Banjir kanal timur sebagai saluran kedua sampai saat ini belum terealisasi dan masih dalam tahap pembebasan lahan oleh Pemda DKI. Tata air di Jakarta terkait erat dengan daerah resapan dan penyangga di kawasan Bopunjur(Bogor-Puncak-Cianjur).

Andaikan budaya masyarakat Jakarta juga memiliki konsep semisal Tri Hita Karana, pastilah dimensi hulu, tengah dan hilir ketigabelas sungai yang memasuki kota dapat dijaga kelestariannya dengan penerapan tata kota dan ruang yang menjaga keseimbangan tata kelola lingkungan hidup dengan menyisakan paling tidak 40% daerah aliran sungai tetap hijau sebagai daerah reapan air. Keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam dan kegiatan pembangunan yang memusatkan uang di Jakarta mendorong warga dari berbagai penjuru daerah mengadu nasib di ibukota. Hal tersebut jelas akan menimbulkan dampak masalah sosial dan tentunya lingkungan hidup.

Kepadatan penduduk yang tinggi jelas membutuhkan sistem sanitasi lingkungan yang memadai sebagai kompensasi timbulnya limbah maupun sampah dari berbagai aktivitas manusia. Kesadaran masyarakat dalam membuang sampah akan sangat mempengaruhi lingkungan. Sampah yang dibuang di sembarang tempat, termasuk di sungai, akan menimbulkan sungai tercemar dan jika terjadi hujan deras di sisi hulu, maka banjirlah yang akan dituai oleh masyarakat.

Oleh karena itu, kaitannya dengan konsep Tri Hita Karana, manusia harus sadar akan tugas dan fungsinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi untuk memakmurkannya bukan utnuk merusaknya. Setiap tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya harus dipandu dengan tata nilai dan norma yang telah dietentukan oleh-Nya. Hal ini berarti hubungan vertikal antara makhluk dengan sang khalik harus benar-benar diperhatikan. Demikian pula hubungan horisontal antar sesama manusia dan terhadap lingkungan hidup harus tetap dijaga lestari sehingga akan tercipta satu kesatuan fungsi dan keterpaduan yang saling mendukung kepentingan manusia baik generasi saat ini maupun anak cucu di kemudian hari. Terciptanya pola pikir yang didasari oleh nilai ketuhanan, kemanusiaan dan kelestariaan lingkungan hidup akan membawa keselarasan hidup yang akan membawa kepada kesejahteraan manusia. Sebaliknya ketidakseimbang ketiga unsur di atas akan membawa kehancuran terhadap peradaban manusia dan kelestarian lingkungan hidup.

baca selengkapnya...

Kesan dan Pesan Magang

Hari yang begitu melelahkan hari ini tanggal 21 Mei 2008 saya harus berangkat ke KAmpus untuk mengikuti perkuliahan. pagi-pagi saya harus bangun mempersiapkan segalanya. wah seru juga hari ini Bapak menyuruh saya ke Kantor Kepala Desa untuk membawa proposal yang harus dikirim hari ini ke Kantor Kepala Dinas Peternakan dan Petanian Kab. Karangasem


Proposal ini berisi tentang pengajuan bantuan bagi petani di Rendang, untuk mendapatkan bibit Sapi. wah gimana ya... saya harus cepat cepat nie kan ada kuliah sesampainya di Kantor Kepala Desa saya langsung ajukan kepada Bapak Sutama, selaku Koordiantor penguus Himpunan tani di Desa saya

baca selengkapnya...

Kamis, 15 Mei 2008

Visi SMA Negeri 1 Rendang


Visi SMA Negeri 1 Rendang

1. Beriman dalam arti meningkatkan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tidak tergoyahkan serta teguh dan tetap pendirian

2. ertaqua dalam arti terpeliharanya sifat diri agar taat melaksanakan perintah Tuhan dan ajarannya serta menjauhi larangannya

3. Berkualitas dalam arti selalu meningkatkan mutu serta unggul dalam prestasi baik di bidang akademik maupun non akademik

4. Berbudaya dalam arti berbudi pekerti luhur

baca selengkapnya...

Senin, 14 April 2008

foto d3tkj


baca selengkapnya...

tempat magang

ini posting pertama
nama saya putu suarjana
magang di sman1 rendang karangasem
info lebih lanjut akan saya posting berikutnya

baca selengkapnya...

Selamat datang kebingungan


Menurut sebuah cerita yang mengundang tawa, suatu hari ada orang asing yang meninggal di Indonesia. Demikian baiknya orang asing tadi ketika hidup, sampai-sampai Tuhan memberi kesempatan untuk memilih antara surga dan neraka. Maka ia minta izin untuk melakukan survey lapangan. Ketika melintas di depan surga, orang asing tadi melihat banyak pendeta, pastur, kiai yang membaca buku-buku suci. Di neraka lain lagi. Ada banyak sekali penghibur di tempat ini. Ada penyanyi, pelawak, sampai dengan wanita mantan bintang film cantik terkemuka yang menggoda.

Setelah berfikir-fikir agak lama, ia minta izin ke Tuhan agar masuk neraka saja. ‘Lebih banyak hiburan’, demikian ia berargumen meyakinkan. Dan Tuhanpun hanya bisa mengiyakan. Oleh karena hari itu hari minggu libur, maka ia hanya diizinkan masuk neraka besok harinya. Akan tetapi besoknya, di menit pertama ia menemukan wajah neraka yang amat berbeda. Ada orang digantung, dibakar, disiksa dan jeritan banyak orang yang membuat bulu kuduk berdiri. Dan iapun protes ke Tuhan, kenapa wajah neraka amat berbeda dengan pekan sebelumnya. Dengan tenang Tuhan menjawab : ‘minggu lalu kan pekan promosi’. Dengan fikiran kesal orang asing tadi pergi sambil bergumam : ‘dasar Indonesia, Tuhan saja tidak bisa dipercaya apa lagi pemerintahnya’.
Anda boleh saja tersenyum atau tersinggung dengan cerita hayal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan ini. Yang jelas, menyusul ditutupnya pabrik bubur kertas PT Inti Indorayon, ancaman BI tentang kemungkinan dilikuidasinya bank Bali, atau penutupan PT Newmount Minahasa Raya. Ditambah dengan ramalan segelintir orang bahwa akan ada revolusi Mei 2000 menyusul dibentaknya pasukan Jihad oleh Gus Dur, maraknya demonstrasi kenaikan gaji karena keputusan tunjangan struktural pejabat tinggi, sampai dengan ditundanya kenaikan harga minyak. Digabung menjadi satu, Indonesia sekarang-sekarang ini memang memasuki situasi intellectual anomie. Tidak cukup sekadar intellectual instability, namun sudah memasuki anomali intelektual. Di mana kebanyakan orang tidak hanya berani berbeda, namun juga berani menghujat dan menempatkan argumen orang lain di bawah telapak kaki. Termasuk argumen presiden sekalipun. Lihat saja argumen presiden mengenai pencabutan TAP MPR tentang komunisme. Ia dihadang demo dan penghujatan di sana-sini. Sejumlah menteri - terutama di lingkungan ekonomi - malah duduk di posisi yang maju kena mundur kena. Bicara salah, tidak bicara juga salah. Apa lagi argumen orang biasa, belum apa-apa sudah layu sebelum diinjak orang.
Ibarat orkes simponi, kalau dirigennya saja dihujat, apa lagi anggota orkestra yang lain. Maka jadilah bangsa ini seperti orkestra tanpa aturan dan tanpa arah. Jangan tanya saya hasil berupa musik yang masuk ke dalam telinga. Telinga tidak pecah dan dibikin tuli saja sudah untung. Seorang rekan yang rajin membaca koran dan majalah mengeluh ke saya, katanya kita rugi dua kali kalau membaca berita. Rugi pertama, harus bayar. Rugi kedua, fikiran tidak dibuat tambah jernih malah tambah kotor. Tidak membaca berita malah lebih rugi lagi, karena dibuat bengong-bengong seperti orang bodoh yang lebih bodoh dari yang paling bodoh.
Jadi mirip dengan orang asing yang kebingungan di pintu neraka tadi yang bahkan tidak mempercayai Tuhan sekalipun, kitapun kebingungan mencari orang yang bisa dipercaya. Orang yang jadi presiden melalui pemilu yang demokratis, serta proses pemilihan yang paling transparan saja tidak dipercayai, kita mau diajak mempercayai siapa ?
Seorang sahabat yang sempat mendengar pertanyaan terakhir, bertanya balik ke saya : ‘Anda bertanya ke siapa ? Bukankah kita semua sudah tidak punya telinga untuk mendengar pertanyaan orang lain ?’. Entahlah, yang jelas saya mengalami kesulitan untuk mengkerangkakan perjalanan Indonesia sekarang ini. Adakah ia berbentuk linier, siklus atau melingkar seperti spiral ?. Kesulitan timbul, karena ada diskontinyuitas dalam perjalanan kita. Korea setelah pemilu yang demokratis, ekonominya bangkit, dukungan dari mana-mana menguat tanpa perlu presidennya keliling dunia. Di sini, Anda tahu sendirilah ceritanya.
Anda boleh saja berteori tentang euforia reformasi yang kebablasan, atau melempar kambing hitam ke rezim orde baru yang amat senang menekan, atau malah menyebut pasangan Gus Dur-Megawati kurang minum obat kuat. Apapun teori dan alasannya, kita tetap saja kebingungan. Anda boleh menyebut kebingungan sebagai gerbang kehancuran, namun saya mensyukurinya sebagai the starting point of new paradigming. Inilah titik awal dari terbitnya mata hari baru Indonesia. Di mana kita tidak lagi berdiri di atas stabilitas yang semu. Tidak lagi tidur dibuai oleh janji-janji pertumbuhan yang menyilaukan. Tidak lagi berdemokrasi di atas diperkosanya secara amat keji perbedaan.
Nah kalau ini basis berfikirnya, pertanyaan siapa yang layak dipercaya di negeri ini tidak lagi relevan. Sama tidak relevannya dengan cerita awal tentang orang asing yang tidak mempercayai Tuhan. Betapa bingungpun keadaan, saya tetap mempercayai masa depan. Satu-satunya pilihan yang tersedia buat siapa saja yang mendambakan kemajuan. Terserah Anda !.

baca selengkapnya...