Selasa, 20 Mei 2008

TRI HITA KARANA


Tri Hita Karana merupakan produk nilai kearifan lokal yang telah bersemayam di kalbu nenek moyang kita semenjak awal peradaban Jawa, baik di era Mataram Hindu, Kediri, Singosari, Majapahit hingga Mataram Islam jilid ke dua di bawah Pangeran Mangkubumi di Kasultanan Ngayojakarta Hadiningrat. Di masa akhir pemerintahan Brawijaya V, ketika Majapahit mencapai era senja kalaning kedhaton, sebagian penganut Hindu Dharma bermigrasi mengungsi ke Pulau Dewata dan kemudian menjadi penduduk mayoritas di sana di samping suku Trunyan sebagai penduduk asli Bali. Begitupun konsep Tri Hita Karana kemudian terpelihara lestari di kalangan masyarakat Bali hingga dewasa ini.

Tri Hita Karana merupakan trilogi konsep hidup dimana Tuhan, manusia dan alam berdiri di masing-masing sudut sebagai unsur mutlak terselenggaranya denyut nadi alam raya. Dunia semesta dibagi menjadi tiga lapis alam. Pertama alam Parahyangan, alam malakut di mana Tuhan bersinggasana. Kedua alam Pawongan, alam manusia dimana manusia melangsungkan hidupnya pada dimensi jasmani maupun rohaninya. Alam ketiga adalah alam Pelemahan, alam semesta raya di bawah derajat manusia, seperti dunia tumbuhan, binatang, atau pendek kata merupakan lingkungan hidup.

Terselenggaranya keselarasan dan keharmonisan hidup manusia sebenarnya mutlak merupakan keselarasan dari ketiga dimensi alam tersebut. Manusia harus taat dan patuh terhadap aturan dan hukum alam yang telah digariskan kepadanya melalui ajaran agama yang telah diturunkan oleh Tuhan. Agama berasal dari bahasa Sansekerta a-gama, a berarti tidak dan gama berarti kacau. Jadi agama mempunyai makna sebagai instrumen atau metodologi untuk mengatur segala segi kehidupan manusia agar tidak terjadi kekacauan dalam kehidupan dan sebaliknya keselarasan, ketentraman dan kedamaian hidup dapat dicapai.

Dilanggarnya norma dan aturan agama yang telah digariskan Tuhan akan berakibat terjadinya degradasi moral manusia yang akan menjadikan manusia menurutkan hawa nafsu untuk memenuhi segala hasrat hidupnya tanpa memperdulikan kaidah norma hidup, sehingga akan menimbulkan berbagai masalah sosial dan lingkungan hidup. Lingkungan hidup akan dieksploitasi dengan semena-mena tanpa memperhitungkan tata kelola lingkungan sehingga terjadi kemerosotan daya dukung lingkungan terhadap manusia, dan akibatnya akan timbul bencana dimana-mana sebagai balas dendam alam terhadap manusia.

Yogyakarta sebagai salah satu kerajaan yang mewarisi konsep Tri Hita Karana kemudian mengejawantahkannya dengan pembentukan garis imajiner Merapi-Kedaton-Segara Kidul. Konsep ini sejak awal telah disadari oleh Pangeran Mangkubumi dengan menempatkan kratonnya pada dataran tinggi yang diapit oleh Sungai Code di seberang timur dan Sungai Winongo di sisi barat, sehingga praktis keberadaan kraton akan selalu terhindar dari banjir. Di sisi hulu, kelestarian Merapi sebagai penyangga dan daerah resapan air bagi masyarakat Yogya diupayakan tetap terjaga kelestariannya dengan menempatkan Mbah Maridjan, seorang abdi dalem sebagai juru kunci penjaga alam. Demikian pula di sisi hilir ditugaskanlah Mbah Tomo di Panggang sebagai juru kunci laut Kidul. Ini berarti bahwa untuk mencapai keselarasan hidup, manusia harus melaksanakan segala perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya dan mengupayakan kelestarian lingkungan hidup sebagai daya dukung terhadap kehidupannya.

Lain halnya dengan Jakarta, ibukota yang semula dirintis pertama kali oleh Fatahillah di awal abad 17 yang dilanjutkan oleh Pangeran Jayakarta. Jakarta merupakan daerah rawa yang sebagian tanahnya mempunyai ketinggian di bawah permukaan air laut. Hal inilah yang kemudian mendorong Belanda yang kemudian menjadikannya Batavia sebagai ibukota Hindia Belanda membuat sistem pintu saluran air sungai Ciliwung, kemudian berusaha menyodet aliran Ciliwung melalui pembuatan banjir kanal barat. Banjir kanal timur sebagai saluran kedua sampai saat ini belum terealisasi dan masih dalam tahap pembebasan lahan oleh Pemda DKI. Tata air di Jakarta terkait erat dengan daerah resapan dan penyangga di kawasan Bopunjur(Bogor-Puncak-Cianjur).

Andaikan budaya masyarakat Jakarta juga memiliki konsep semisal Tri Hita Karana, pastilah dimensi hulu, tengah dan hilir ketigabelas sungai yang memasuki kota dapat dijaga kelestariannya dengan penerapan tata kota dan ruang yang menjaga keseimbangan tata kelola lingkungan hidup dengan menyisakan paling tidak 40% daerah aliran sungai tetap hijau sebagai daerah reapan air. Keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam dan kegiatan pembangunan yang memusatkan uang di Jakarta mendorong warga dari berbagai penjuru daerah mengadu nasib di ibukota. Hal tersebut jelas akan menimbulkan dampak masalah sosial dan tentunya lingkungan hidup.

Kepadatan penduduk yang tinggi jelas membutuhkan sistem sanitasi lingkungan yang memadai sebagai kompensasi timbulnya limbah maupun sampah dari berbagai aktivitas manusia. Kesadaran masyarakat dalam membuang sampah akan sangat mempengaruhi lingkungan. Sampah yang dibuang di sembarang tempat, termasuk di sungai, akan menimbulkan sungai tercemar dan jika terjadi hujan deras di sisi hulu, maka banjirlah yang akan dituai oleh masyarakat.

Oleh karena itu, kaitannya dengan konsep Tri Hita Karana, manusia harus sadar akan tugas dan fungsinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi untuk memakmurkannya bukan utnuk merusaknya. Setiap tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya harus dipandu dengan tata nilai dan norma yang telah dietentukan oleh-Nya. Hal ini berarti hubungan vertikal antara makhluk dengan sang khalik harus benar-benar diperhatikan. Demikian pula hubungan horisontal antar sesama manusia dan terhadap lingkungan hidup harus tetap dijaga lestari sehingga akan tercipta satu kesatuan fungsi dan keterpaduan yang saling mendukung kepentingan manusia baik generasi saat ini maupun anak cucu di kemudian hari. Terciptanya pola pikir yang didasari oleh nilai ketuhanan, kemanusiaan dan kelestariaan lingkungan hidup akan membawa keselarasan hidup yang akan membawa kepada kesejahteraan manusia. Sebaliknya ketidakseimbang ketiga unsur di atas akan membawa kehancuran terhadap peradaban manusia dan kelestarian lingkungan hidup.

Tidak ada komentar: